Dari Dapur ke Kilang: Kisah Sumur Minyak Tua di Kukar yang Hidup karena Minyak Jelantah
Laiknya ulat yang bertransformasi menjadi kupu-kupu, siapa sangka minyak jelantah --limbah dapur yang tak lagi terpakai-- ternyata bisa menjadi bahan penyelamat bagi industri minyak dan gas bumi (migas).

DI tangan inovator PT Pertamina EP (PEP) Sangasanga Field, limbah ini diolah menjadi produk bermanfaat. Mereka menghidupkan kembali sumur-sumur tua yang produksinya menurun, atau bahkan mati total. Keajaiban ini seperti memaksa pohon tua yang rantingnya kering untuk kembali berbuah di luar musimnya.
Kisah inovasi ini dimulai dari tantangan yang dihadapi PEP Sangasanga Field. Setelah pelaksanaan temporary shutdown untuk modifikasi fasilitas permukaan NKL Fase 2 pada Juni 2023, penjualan gas anjlok. Hasil survei Bottom Hole Pressure (BHP) menunjukkan penyebabnya: banyak sumur mengalami liquid hold-up atau penumpukan cairan, sehingga tidak dapat berproduksi normal.
Penurunan gas ini mencapai lebih dari 2 MMSCFD dari komitmen harian sebesar 5 MMSCFD. Kondisi ini diperparah dengan krisis pasokan gas ke PLTGU Tanjung Batu di Kutai Kartanegara, yang berakibat pada pemadaman listrik meluas di Samarinda, Balikpapan, dan Tenggarong.
“Adanya liquid hold-up pada sumur-sumur ini membuat penjualan gas anjlok drastis,” jelas Jalu Waskito, Petroleum Engineering dari PEP Sangasanga Field. “Ini menjadi titik balik bagi kami untuk terus berinovasi,” timpalnya
Sejak saat itu, PEP, yang kini berada di bawah naungan Pertamina Hulu Energi (PHE), terus berupaya meningkatkan kemampuan ribuan sumur di Sanga Sanga dan Muara Badak. Lahirlah inovasi kunci bernama BioEcoFizz.
Berbeda dengan metode konvensional, BioEcoFizz memanfaatkan minyak jelantah dari masyarakat sekitar. Produk ini bekerja dengan mengubah air yang menumpuk di dasar sumur menjadi busa. Dengan begitu, berat cairan di dalam sumur berkurang, menurunkan tekanan hidrostatik, dan memancing kembali aliran migas dari reservoir.

“Dengan tekanan hidrostatik yang lebih rendah dari tekanan reservoir, sumur yang sebelumnya mati dapat mengalir kembali,” kata Jalu, menjelaskan prinsip kerja inovasi ini yang diterapkan pada sumur-sumur dengan aliran alami (natural flow) tanpa memerlukan rig.
Hasilnya pun luar biasa. Dalam periode Juli 2024 hingga Maret 2025, penggunaan BioEcoFizz berhasil meningkatkan produksi gas sebesar 181,2 MMSCF dan produksi minyak sebanyak 34.747 BBLS. Kontribusi ini setara dengan 25 persen dari total penjualan gas PEP Sangasanga Field, dengan pendapatan mencapai Rp39,5 miliar.
Kini, produk unggulan PEP ini tidak hanya digunakan di lapangan Sangasanga, tetapi juga diminati oleh berbagai perusahaan migas lain, seperti PEP Subang Field, PEP Jatibarang Field, PHSS, PHM, Medco Simenggaris, dan PEP Bunyu Field.
Berkat inovasi ramah lingkungan ini, PEP pun diganjar berbagai penghargaan bergengsi, di antaranya Best Innovation UIIA 2024, Platinum Awardee APQA 2025, Gold Awardee IIA PHI 2024, dan Optimus Award 2024.
Selain menggenjot produksi, program ini juga menunjukkan komitmen PHE terhadap kelestarian lingkungan melalui program CSR. Perusahaan bekerja sama dengan masyarakat dan UMKM untuk mengumpulkan minyak jelantah. Setiap 10 liter minyak jelantah yang disetor, masyarakat akan mendapat 3 liter minyak baru sebagai imbalannya.
“Alhamdulillah, saat ini sudah banyak UMKM yang bekerja sama dengan kami,” ungkap Jalu.
John Hisar Simamora, Dewan Komisaris PT PEP, menambahkan bahwa BioEcoFizz adalah produk berkelanjutan dan ramah lingkungan. Lebih dari sekadar inovasi teknis, program ini juga membangun citra positif perusahaan di tengah masyarakat.
Pada pertengahan tahun 2024, penerapan BioEcoFizz di sumur-sumur gas Sangasanga berhasil meningkatkan total produksi hingga 149 juta kaki kubik standar per hari (MMSCFD). “Inovasi BioEcoFizz menunjukkan komitmen PEP dalam pengembangan teknologi untuk mengoptimalkan potensi cadangan migas yang sudah ada, sekaligus mendukung ketahanan energi nasional,” tutupnya. (Suriyatman)





