Paradoks Perang Bagi Prajurit Muda
KLIKSAMARINDA – Penampilan Kristen Stewart rasanya memang akan tetap menawan dalam pelbagai film. Aktris ini pernah menuai pujian para penikmat muda film saat membintangi “Twilight” (2008).
Nah, dalam filmnya yang dirilis November 2016 lalu, “Billy Lynn’s Long Halftime Walk”, Kristen justru tampil sederhana di tangan sutradara dingin kaliber Oscar, Ang Lee.
Dalam film yang sarat dengan tautan psikologis itu, Kristen justru menjadi bagian kecil yang bercerita tentang sudut pandang seorang prajurit Amerika pasca perang Irak.
Di film itu, Kristen menjadi bagian dari sebuah suguhan yang sangat berbeda untuk sebuah film berlandaskan sejarah dengan tema prajurit perang.
Kristen bukan menjadi prajuritnya. Kristen menjadi seorang perempuan yang menerima kedatangan seorang prajurit pasca perang Irak.
Dari sudut pandang prajurit inilah “Billy Lynn’s Long Halftime Walk” bergerak. Film ini memakai sudut pandang prajurit aktif yang baru pulang dari medan perang di Irak.
Film ini diangkat dari novel karya Ben Fountain, Billy Lynn’s Long Halftime Walk. Ang Lee membesutnya menjadi rentetan adegan ‘perang’ dalam batin seorang prajurit Amerika.
Tokoh Billy dalam film tersebut seolah menjawab pertanyaan: apa yang terjadi dengan Amerika setelah perang Irak selesai?
Billy, dalam film ini diperankan Joe Alwyn, seolah menerangkan pengalamannya pasca perang. Dia mengalami trauma berat akibat kondisi perang ketika usianya msih muda, sekitar 19 tahun.
Sosok yang kemudian pulang setelah perang selesai dan dielu-elukan sebagai pahlawan di Amerika tersebut justru kehilangan arah hidup.
Menjadi sebuah paradoks ketika moment terburuk dalam hidupnya itu justru menjadi hal yang paling dibanggakan oleh masyarakat Amerika.
Dia memiliki pengalaman ketika rekannya, Sersan Shroom (Vin Diesel), harus tewas saat baku tembak terjadi.
Film ini terang bukan menguak kisah drama patriotik tentara Amerika layaknya “Rambo” di perang Vietnam atau “American Sniper” yang mengangkat nada dasar nasionalisme Amerika.
Ang Lee, sutradara “Life Of Pi” ini meneruskan pandangan tentang prinsip kemanusiaan dalam kondisi pasca perang. Film yang sangat sarat dengan genangan ketidakpastian dan keputusasaan jika diamati lebih saksama.
Apakah perasaan Anda akan biasa saja saat melihat adegan tatapan tajam penuh dendam dari seorang anak kecil di Irak pada saat keluarganya didatangi pasukan Amerika, yaitu regu Billy, yang tengah mencari senjata yang disembunyikan?
Tontonlah film ini. Semoga Anda bisa merasakan air mata Billy setelah perang itu usang. (*)