News

Ekonom UNUSIA Harap Kebijakan Ekonomi Menkeu Purbaya Tidak Berhenti di Wacana Populis

KLIKSAMARINDA – Kebijakan fiskal yang digulirkan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam beberapa bulan terakhir patut diapresiasi. Namun, apresiasi ini harus dibarengi dengan kewaspadaan dan pengawasan serius agar tidak hanya berhenti sebagai wacana populis.

Program besar seperti penyaluran Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke bank-bank Himbara untuk pembiayaan sektor padat karya dan UMKM, misalnya, harus memiliki ukuran kinerja yang jelas. Dana sebesar itu tidak boleh menguap tanpa hasil nyata bagi rakyat kecil.

Menurut Dr. Muhammad Aras Prabowo, Ekonom Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), kebijakan tersebut adalah langkah progresif, tetapi sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaannya.

“Kebijakan ini tidak boleh hanya menjadi respon reaktif terhadap situasi ekonomi jangka pendek. Pemerintah dan perbankan harus memastikan bahwa inovasi yang dilakukan benar-benar tepat sasaran,” tegasnya, Senin 27 Oktober 2025, melalui keterangan tertulis.

Artinya, imbuh Aras, dana yang disalurkan wajib menyentuh pelaku UMKM, petani, dan nelayan, bukan berhenti di level korporasi menengah ke atas.

Lebih jauh, Akademisi UNUSIA menekankan perlunya inovasi perbankan dalam menyalurkan dana ke sektor agraria dan maritim. “Perbankan harus mengubah pendekatannya dengan mempertimbangkan dimensi sosiologis petani dan nelayan. Pola pengembalian kredit tidak bisa disamakan dengan dunia industri formal. Harus memperhitungkan musim tanam, masa panen, dan periode melaut,” katanya.

Ia mencontohkan Bank BRI sebagai lembaga yang cukup berhasil membangun komunikasi produktif dengan petani dan nelayan. Model seperti ini bisa dijadikan acuan bagi bank-bank Himbara lainnya agar dana Rp200 triliun tersebut betul-betul produktif dan tidak sekadar menjadi angka pencitraan.

Kebijakan lain yang juga menimbulkan pro dan kontra adalah pengurangan transfer ke daerah (TKD).

Menkeu Purbaya menyebut langkah ini sebagai upaya efisiensi agar dana yang tidak terserap bisa dialihkan ke prioritas lain.

Namun, Aras menilai bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi negatif di daerah.

“Pengurangan transfer bisa ditafsirkan sebagai pemangkasan sumber daya lokal. Tapi jika dikawal dengan sistem yang berbasis kinerja, justru bisa mendorong kompetisi positif antar kepala daerah,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa penilaian harus didasarkan pada kinerja keuangan daerah dan keberpihakan terhadap rakyat, bukan hubungan politik dengan pemerintah pusat.

Aras menegaskan bahwa Menkeu harus memiliki sistem pemantauan yang transparan terhadap arus penggunaan dana di daerah.

“Kinerja daerah perlu dievaluasi dengan data akuntabilitas yang terbuka. Bukan berdasarkan kedekatan, tapi hasil nyata terhadap kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.

Terkait dengan kebijakan tidak adanya pajak baru, Aras menilai ini merupakan keputusan yang tepat di tengah tekanan ekonomi global. Namun, keputusan itu harus diikuti oleh pengawasan ketat terhadap penerimaan pajak yang sudah ada.

“Jangan sampai ada lagi fraud antara pegawai pajak dan oknum pengusaha besar. Purbaya harus memastikan penerimaan pajak dari pengusaha kelas kakap benar-benar optimal,” ujarnya.

Langkah ini menjadi penting agar beban pajak tidak kembali jatuh pada masyarakat kecil, sementara kelompok besar justru menikmati kelonggaran.

Selain itu, rencana alokasi Rp20 triliun untuk menghapus tunggakan BPJS Kesehatan bagi masyarakat tidak mampu juga mendapat perhatian Aras.

Ia mengapresiasi kebijakan ini sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil, namun menegaskan perlunya evaluasi manajemen BPJS.

“BPJS tidak bisa terus-menerus disubsidi tanpa pembenahan. Jika akar masalahnya ada di tata kelola dan manajemen, maka perlu dilakukan reformasi struktural. Pemerintah harus berani melakukan perombakan agar sistem kesehatan kita tidak terus menjadi beban fiskal setiap tahun,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa akses kesehatan harus tetap dijamin, tetapi dengan efisiensi dan pengawasan ketat agar subsidi benar-benar sampai pada masyarakat yang membutuhkan.

Dalam konteks yang lebih luas, Aras menegaskan bahwa seluruh kebijakan yang dimulai oleh Purbaya harus memiliki mekanisme kontrol dan pengawasan berkelanjutan.

Ekonom UNUSIA ini berharap jangan sampai kebijakan-kebijakan Menkeu Purbaya yang awalnya progresif justru menjadi reaktif, populis, atau bahkan politis jangka pendek.

“Kebijakan yang baik tidak berhenti pada pengumuman, tapi harus dikawal sampai hasilnya bisa dirasakan masyarakat. Jika tidak, kebijakan-kebijakan itu hanya akan menguap, menjadi headline sesaat tanpa dampak nyata,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat harus menjadi bagian dari pengawasan. Pengawasan partisipatif publik perlu diperkuat agar kebijakan fiskal lebih transparan dan akuntabel.

“Kebijakan Purbaya harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, bukan sekadar menyenangkan publik sesaat. Masyarakat jangan larut dalam pemberitaan media; ikutlah mengawasi arah kebijakan fiskal negara,” tutup Aras.

Pada akhirnya, keberhasilan Menkeu Purbaya tidak hanya diukur dari keberaniannya membuat kebijakan, tetapi dari kemampuannya mengawal implementasi kebijakan tersebut hingga benar-benar menyentuh kehidupan rakyat kecil. Sebab, dalam ekonomi rakyat, yang penting bukan sekadar angka dan tabel, tetapi bagaimana setiap kebijakan mampu mengubah keseharian masyarakat menjadi lebih sejahtera, adil, dan berkelanjutan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status