Menelaah Visi Rendi Susiswo Ismail soal Pendidikan Kaltim (1)
Rendi Susiswo Ismail punya agenda besar bagi dunia pendidikan Kalimantan Timur. Impiannya mengubah kondisi sumber daya manusia hari ini berawal dari Universitas Balikpapan. Di Senayan –jika tak ada aral melintang– akan menjadi gelanggangnya mewujudkan itu.
EKSISTENSI Uniba dalam beberapa tahun terakhir mendapat apresiasi tinggi dari publik. Pelbagai inovasi lahir di kampus yang berdiri sejak 1 Juli 1981 itu. Capaian ini tentu bukan tanpa musabab. Rendi Susiswo Ismail, pria yang duduk sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Tinggi Dharma Wirawan Kaltim Uniba, adalah sosok yang paling bertanggungjawab atas perubahan itu.
Maka tak heran, jika misi besarnya berpartisipasi dalam pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia sejatinya bukan duduk di kursi kekuasaan. Bagi pria kelahiran Balikpapan 17 Agustus 1963 ini, menjadi anggota DPD RI adalah cara terbaik untuk mengubah wajah pendidikan lokal hari ini.
Ya, pasca mendapat 7.500 sokongan dari 8 kabupaten/kota di Kaltim, isu pendidikan telah menjadi lokus utama mantan Ketua Senat Mahasiswa Sekolah tinggi ilmu Ekonomi Kota Balikpapan itu. “Saya sejatinya sudah lama fokus ke dunia pendidikan dimana saya berharap Uniba bisa menjadi kebanggan masyarakat kota Balikpapan,” katanya. “Namun apapun taruhannya saya akan terus memperjuangkan pembangunan pendidikan di Kaltim,” timpal Rendi, saat itu.
Rendi mengakui Uniba sebagai pilot projectnya menerapkan sistem pendidikan yang ideal untuk mempersiapkan sumber daya manusia lokal yang kompeten. “Walaupun berat bagi saya karena berhadapan dengan regulasi,” katanya.
Dalam sejumlah kesempatan, wacana untuk mengubah status Uniba dari swasta ke negeri acap kali disampaikan Rendi dalam pelbagai kesempatan. Kendati demikian, Rendi menolak jika rencana tersebut sebagai langkah putus asanya untuk mengubah dunia pendidikan lokal menjadi lebih baik. “Saya merelakan Uniba jika menjadi kampus negeri. Saya serahkan kepada negara untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya. “Kewenangan ada di tangan saya. Dan saya sangat ringan menandatangani itu,” tambah Rendi.
Rendi menegaskan masih memiliki rasa optimistis terhadap Pemerintah Pusat untuk membangun perguruan tinggi negeri dan swasta terbaik. “Kemampuan saya terbatas. Makanya saya harus melakukan banyak kolaborasi dan mengembangkan jaringan,” bebernya.
Pernyataan Rendi tentu bukan sesumbar. Saat menghadiri Borneo Student Network, Rendi dan Uniba menjadi satu-satunya perguruan tinggi swasta yang berpartisipasi. “Tanpa bermaksud negatif, saya pikir yang membedakan Uniba dengan perguruan tinggi lain adalah spiritnya,” paparnya. (*)
Mungkin tidak connect dengan tema ini, tetapi setidaknya sebagai penyelenggara lembaga pendidikan swasta di pedalaman, merasa aparatur pemerintah yang terkait dengan dunia pendidikan tidak memiliki kepedulian dan terlalu takut dengan regulasi. Dalam hal 20% anggaran pendidikan, terbukti tidak dapat diserap dan sebagian dikembalikan ke kas negara.