Mendekati Kepentingan Publik
”Ada kesedihan di sini, ketika menangis tak bisa disimbolkan. Dan di mata yang lapar, ada amarah yang berkembang”. (John Steinbeck: The Wrath of Grapes via Stuart Goodson: The Public)
Apa yang dapat dimaknai dengan udara dingin yang membelit tubuh hingga ke dalam darah dan daging manusia? Apakah duka? Apakah kematian? Apakah manusia itu sendiri dengan segala realitas dan persoalan hidup yang dihadapinya?
Barangkali beberapa pertanyaan-pertanyaan itu akan berkelindan dalam benak kita ketika harus mencerna sebuah film besutan Emilio Estevez pada 2019 berjudul The Public.
Emilio, adik dari aktor Hollywood Charlie Sheen itu, tampak bersemangat untuk membuat sesiapa pun yang menonton filmnya ini agar berpikir keras tentang kepentingan publik di tengah kehadiran cuaca dingin bagi kehidupan warga kota.
Dengan lentur dan saksama, The Public dibuka oleh landskap sebuah kota yang dingin di pagi hari. Kemudian tampak deretan orang-orang, para tunawisma, yang tengah menunggu di sekitaran sebuah perpustakaan publik milik pemerintah kota.
Para tunawisma ini terkepung cuaca dingin di jalanan sehingga mencari tempat alternatif untuk sekadar melewatkan hari dari kepungan dingin. Maka, satu tempat yang bagi mereka sesuai dengan kebutuhan adalah perpustakaan kota.
Mereka lalu antre untuk masuk ke dalam perpustakaan itu.
Tentu, mereka masuk ke perpustakaan kota bukan untuk membaca. Mereka masuk untuk mencari perlindungan dari cuaca dingin dan ingin mendapatkan kehangatan di Main Library itu.
Di sana, mereka dapat membersihkan diri, mengisi pikiran dengan bacaan, hingga sekadar berbaring dan menghabiskan waktu luang. Tetapi, nyatanya, perpustakaan yang merupakan publik area itu memiliki batas waktu, buka pagi dan tutup malam. Tak lebih dari sebuah toko swalayan, milik privat.
Di sinilah letak persoalan muncul. Para tunawisma ini kemudian merasa cemas untuk keluar dari perpustakaan itu ketika malam dan suhu semakin dingin.
Sementara di luar ruangan dingin mengancaam dan beberapa hari belakangan, beberapa kawan dari mereka, mati beku karena suhu dingin di bawah normal.
Mereka pun terpaksa memilih bertahan dan berupaya menyeberangi rutinitas batas buka perpustakaan itu. Mereka lantas berniat melawan otoritas kota jika sampai terjadi pengusiran.
Bagi pemegang otoritas di area perpustakaan itu, Stuart Goodson (diperankan Emilio Estevez, yang juga sutradara), keputusan para tunawisma, yang dipimpin Jackson (diperankan Michael Kenneth Williams) membuatnya berada dalam dilema.
Stuart Goodson yang merupakan pengawal perpustakaan itu harus membuat keputusan terkait keberadaan para tunawisma.
Para tunawisma warga kota ini, yang bisa jadi tak terlacak mesin pencari atau pelacak identitas, menjadi seperti alien. Tak bernama dan asing.
Apakah dirinya harus mengusir mereka ke tengah cuaca dingin di luar sana ataukah membiarkan mereka tetap di dalam perpustakaan yang berarti melanggar batasan rutinitas di perpustakaan itu.
Penentuan pilihan yang tak mudah bagi Stuart. Mengingat, dirinya tengah bermasalah dengan hukum karena sebelumnya ia terlibat dalam tuntutan tunawisma yang diusirnya karena bau badan yang mengganggu pengunjung lain.
Pun, Stuart pernah merasakan hidup sebagai gelandangan. Ia pun kemudian melobi atasannya.
Namun, atasannya tak dapat memberikan keputusan karena membiarkan para tunawisma di dalam perpustakaan saat batas waktu habis adalah melanggar peraturan kota.
Kata hati Stuart (juga suara hati sutradara Emilio Estevez) menempatkan pilihan pada sisi yang tepat. Ini adalah spiritualitas, kehidupan etis, benar dan salah.
Dan begitulah cerita ini dibangun. Stuart memilih membiarkan para tunawisma tetap di dalam perpustakaan dan ia pun menetapkan diri untuk tetap berada bersama mereka.
Persinggungan antarkepentingan tak dapat dihindari. Apalagi ketika muncul para pemegang otoritas lain, seperti polisi (Ramstead yang diperankan Alec Baldwin) dan jaksa yang juga calon walikota (Josh Davis yang diperankan Christian Slater).
Keduanya sama-sama menentang keberadaan tunawisma di dalam perpustakaan di luar jadwal semestinya. Konflik pun tak terhindarkan, dan otoritas akan tampak bertindak sesuai dengan araah tongkat dan segala bentuk kekuasaannya.
Tentang The Public
Lewat sutradara Emilio, The Public menghadirkan dingin yang mengalirkan semangat perlawanan dari para tunawisma atau warga yang hidup di jalanan.
Emilio menuangkan gagasan dalam film itu layaknya pelukis realis yang mencoba menggali makna dari dingin, para tunawisma, dan sebuah perpustakaan.
Terang, Emilio tak lalu kemudian mengungkap kaitan antara ketiga kata kunci itu dengan Klasifikasi Desimal Dewey (Dewey Decimal Classification (DDC) yang merupakan sebuah sistem klasifikasi di dalam perpustakaan.
Pun, jika mau menarik referensi tentang dingin dalam karya lain, novel Daerah Salju oleh Yasunari Kawabata misalnya, tak serupa dengan dingin yang ada di film The Public.
Yasunari membuat dingin yang membahagiakan, dalam, sekaligus hangat ketika Shimamura pergi melancong di awal Desember ketika salju sedang turun di sebuah pegunungan di Jepang.
Itu semacam dingin yang menuju hangat, tenang, sekaligus dalam yang tercipta dalam sebuah perjalanan sunyi.
Yasunari tak tampak pada bacaan Stuart di The Public. Itu bukan soal, sebab John Steinbeck melalui karyanya The Wrath of Grapes, mewakilinya dengan suara melawan otoritas demi kepentingan publik yang tertindas.
Dua atau tiga kali menonton film ini, warga kota mungkin akan lebih nyaring menyuarakan aspirasinya. Percayalah. (dw)
Film The Public
Rilis: 5 April 2019 (Amerika)
Sutradara: Emilio Estevez
Skenario: Emilio Estevez
Pemain: Emilio Estevez, Alec Baldwin, Taylor Schilling, Jena Malone, Christian Slater, Jacob Vargas, Michael Kenneth Williams
Didistribusikan oleh: Universal Studios