News

Membedah Hak Untuk Tahu, Karpet Merah Kontrak Perusahaan Tambang di Indonesia

KLIKSAMARINDA – Hari Hak Untuk Tahu Sedunia menjadi moment bagi sejumlah organisasi pemerhati lingkungan yang tergabung dalam gerakan “BersihkanIndonesia” menyoroti eksistensi perussahaan pertambangan batubara di Indonesia. Moment ini menjadi tambah menarik ketika munculnya inisiasi dari Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM yang sedang melakukan proses evaluasi kontrak sejumlah perusahaan tambang batu bara, seperti PT Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Dalam konferensi pers gerakan “Bersihkan Indonesia” pada Minggu 27 September 2020, gerakan “Bersihkan Indonesia” mendesak pemerintah membuka kontrak, daftar nama, dan perkembangan evaluasi tambang-tambang raksasa yang habis masa berlakunya. Konferensi pers ini berlangsung sehari menjelang Hari Hak untuk Tahu Sedunia (The International Right To Know Day – RTKD), beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan BersihkanIndonesia seperti JATAM, WALHI Kalsel, JATAM Kaltim, dan Trend Asia mengadakan *Konferensi Pers: “Transparansi Evaluasi Perizinan Tambang”*.

Hadir dalam konferensi pers virtual ini pembicara Pradarma Rupang (JATAM Kaltim), Kisworo Dwi Cahyono (WALHI Kalsel), Ahmad Ashov (Trend Asia-#BersihkanIndonesia), dengan moderator: Elok Mutia (Enter Nusantara).

Dalam konferensi pers tersebut, satu hal yang menjadi sorotan adalah informasi terkait evaluasi kontrak Kementerian ESDM terhadap keberadaan perusahaan tambang di Indonesia. Evaluasi itu berlaku setelah adanya permohonan perpanjangan operasinya telah disampaikan pada Maret 2019 dan Maret 2020 yang lalu.

Berdasarkan catatan yang dimiliki oleh JATAM Kaltim, Walhi Kalsel, dan BersihkanIndonesia, perusahaan-perusahaan tersebut dan beberapa perusahaan lain memiliki rapor merah rekam jejak seperti kekerasan dan pelanggaran HAM, kasus perusakan lingkungan, perampasan tanah milik petani dan masyarakat adat, hingga kematian di lubang tambang yang tidak direklamasi dan dipulihkan.

“Mengingat dampak signifikan terhadap masyarakat terdampak dan publik secara luas, transparansi dalam proses perpanjangan perizinan tambang tersebut haruslah diwujudkan, termasuk membuka dokumen Kontrak PKP2B, serta detail dari proses evaluasi. Kawan-kawan Jatam Kaltim telah melayangkan permintaan informasi. Jika informasi tersebut tidak dibuka, dikhawatirkan munculnya kepeningan beberapa pihak yang hanya menguntungkan mereka saja karena tidak ada partisipasi publik,” ujar Ahmad Ashov dari Trend Asia-#BersihkanIndonesia.

Semenara itu, Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim menyatakan saat ini rakyat Kaltim telah menunggu moment berakhirnya izin konsesi pertambangan sejumlah perusahaan di Kaltim. Menurut Pradarma Rupang, banyak rakyat Kaltim yang berlum mengetahui kewajiban-kewajiban perusahaan tambang itu bagi wilayah operasionalnya.

“Penting bagi publik, khususnya di Kaltim, agar mengetahui perjalanan perusahaan tambang itu sejak mulai beroperasi hingga berhenti beroperasi. Ada tiga hal penting, yaitu buka kontrak, daftar nama, dan perkembangan evaluai tambang-tambang raksasa batubara yang habis masa berlakunya. Kita mendesak pemerintah agar membuka data itu,” ujar Pradarma Rupang.

Lebih lanjut, Pradarma Rupang menyatakan, saat ini ada 5 perusahaan pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa kontraknya. Kelima perusahaan itu, menurut Pradarma Rupang, 4 di antaranya berada di Kaltim, yaitu PT KPC di wilayah Kutai Timur (19882–2021), PT Multi Harapan Utama Kukar (1986-2022), PT Kideco Jaya Agung Paser (1982-2023, dan PT Berau Coal (1983-2025). Satu lagi perusahaan pemegang PKP2B adalah PT Arutmin Kalsel (1981-2020).

Pradarma Rupang mempertanyakan apakah seluruh perusahaan tersebut telah menjalankan kewajibannya kepada publik? Beberapa kewajiban tersebut, menurut Pradarma Rupang antara lain, kewajiban penerimaan negara, kewajiban pajak, kewajiban domestic market obligation (DMO), kewajiban pemulihan lingkungan, kewajiban hukum, tanggung jawab sosial dan sebagainya. Pradarma Rupang mencatat masing-masing perusahaan tersebut memiliki kejahatan kepada masyarakat yang sampai saa ini belum tuntas.

“Apakah perusahaan-perusahaan itu telah melaksanakan kewajibannya sesuai aturan yang ada? Misalkan ada evaluasi dari pemerintah, tetapi evaluasi seperti apa yang dilakukan? Dari hulu sampai hilir evaluasi itu tranparan kepada masyarakat dari seluruh perjalanan perusahaan tambang itu. Sehingga pening sekali dokumen evaluasi itu harus sampai ke publik dengan objektif,” ujar Pradarma Rupang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status