News

Ancaman Tambang Untuk Ruang Hidup Kaltim

KLIKSAMARINDA – Dalam diskusi Festival Indonesia Muda (FIM) Samarinda yang bertema “Oligarki Tambang Kebiri Ibu Pertiwi”, Selasa 17 November 2020, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang membahas daya rusak pertambangan migas dan batubara di Kalimantan Timur (Kaltim). Menurut Pradarma Rupang, kerusakan lingkungan di Kaltim telah terjadi baik di darat maupun di wilayah pesisir dan laut.

“Kini Kaltim telah dikepung tambang. Secara peruntukan ruang dikuasai 5,2 juta hektare oleh pertambangan atau 43 persen telah mengokupasi daratan Kaltim. Industri ektraksi lainnya menghabiskan 73 persen luas daratan Kaltim, baik konsesi perkebunan, kehutanan, dan industri migas, angkanya spektakuler. KPK menilai Kaltim tekor ruang hidup. Artinya tidak ada lagi ruang hidup jaminan peruntukan ruang,” ujar Pradarma Rupang.

Pradarma Rupang menyatakan, tidak mengherankan jika carut marut perizinan di Kaltim termasuk data perizinan, tidak sinkron dan tidak ada perubahan sama sekali. Ancaman dan krisis, menurut Pradarma Rupang, tengah mengancam Kaltim terus menerus melalui ruang hidup yang direbut industri ekstraktif.

Dalam diskusi yang menghadirkan legislator Senayan, Irwan dan Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada, Agung Wardana, Pradarma Rupang menerangkan, baik daratan maupun wilayah perairan mulai dari pesisir Berau hingga Paser, pun perairan Sungai Mahakam telah mengalami dampak daya rusak pertambangan.

“Kita bisa lihat bagaimana krisis dari dampak pertambangan menimbulkan konflik. Seperti terdesaknya habitat pesut, tongkang menabrak tiang jembatan, hingga hilangnya lahan pertanian.

Pradarma Rupang juga berpandangan bahwa hhasil bumi pertambangan adalah last resource energy. Perlu kehati-hatian dalam eksploitasi hasil tambang sehingga tidak melulu eimbulkan krisis bagi masyarakat.

“Sering terjadi adanya pertentangan antara pemangku adat dan kelompok industrialis dalam memandang tanah sebagai sumber kehidupan. Di satu sisi, tanah dianggap masyarakat bukan untuk komoditas. Pertentangan terjadi antara hubungan masyarakat yang menganggap tanah sebagai sumber kehidupan dengan sektor industri yang memandang tanah sebagai komoditas ekonomi. Tetapi keduanya tidak nyambung dan tidak ada komunikasi di antara keduanya,” ujar Pradarma Rupang.

“Saya kira tambang yang ideal adalah tambang di teras negara tetangga, seperti Amerika dan korea Selatan. Tapi tambang tidak ada di depan rumah kita sendiri,” ujar Pradarma Rupang.

Sementara itu, Agung Wardana memandang jika industri tambang dan industri ekstraktif lainnya sebagai candu, seperti narkoba. Diperlukan transisi agar ketergantungan terhadap pertambangan bisa dicicil habis sebelum beralih kepada kehidupan yang berbasis ramah lingkungan.

“Kita bisa mencontoh negara Ekuador yang mengeluarkan kebijakan pemerintah dalam menghilangkan prakik pertambangan dengan dalih tinggalkan minyak di dalam tanah. Kita ingin hidup selaras dengan alam. Tidak ada tambang yang selaras dengan alam. Tambang bisa jadi instrumen menuju cita-cita kehidupan bebas tambang,” ujar Agung Wardana.

Sementara Irwan menyatakan jika Kaltim, umumnya Indonesia, belum dapat lepas 100 persen dari praktik pertambangan. Namun, praktik pertambangan bisa dibatasi menuju fase transisi wilayah bebas tambang.

“Perlu pembatasan produksi tambang, misal dengan moratorium. Kita tidak bisa lepas dari tambang. Apalagi Kaltim. APBD kita masih tergantung dana bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam,” ujar Irwan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status